LUCY IN THE SKY WITH KORAN KAMI

Waktu pertama membaca cuitan Tommy F.Awuy tentang kolaborasi seni terbesar di akhir tahun ini saya sudah tertarik untuk menyaksikannya. Bukan karena promosi yang bombastis tadi tetapi karena ada kalimat Lucy In The Sky dalam judulnya.

Sebagai generasi pra milenial, saya turut terkena demam The Beatles yang bangkit kembali pada era 80an lewat Bharata Band.  Lagu Lucy In The Sky With Diamond menjadi salah satu lagu yang turut dipelajari oleh saya dan teman-teman bermodalkan buku lagu The Beatles yang kami peroleh dari hasil bajakan.

Aria Baron, Nana Soebianto dan Tommy F.Awuy membawakan Lucy In The Sky With Diamond

Dari komik The Beatles yang hadir di Majalah Hai pada saat itu, saya mengetahui bahwa lagu tersebut dicurigai sebagai kepanjangan dari LSD namun John Lennon membantahnya dengan berdalih bahwa judul lagu itu bersumber dari gambar yang dibuat anaknya Julian Lennon.

Terlepas dari pro kontra kandungan LSD di dalam lagu tersebut, saya pikir pola lagu yang dibuat John dan paul ini memang menyimpang dari pola lagu pop masa itu. Tercatat 3 kali nada dasarnya berubah dimana jembatan tiap nada dasar mengalir dan menyatu di bawah rezim teks yang surealistik. Besar kemungkinan pengaruh yang dominan dari era psikedelik yang ditandai dengan meluasnya pemakaian acid pada generasi bunga. Efek dari pemakaian acid ini memang membuat penggunanya berada diantara mimpi dan realita, kebanyakan lebih condong ke mimpinya. Tapi inilah salah satu bentuk perlawanan generasi bunga terhadap kemapanan yang berujung pada dehumanisasi. Manusia dinilai berdasarkan warna kulit, tingkat ekonomi dan status sosialnya. Manusia menjadi begitu mekanistik dan melupakan alam. Dalam situasi zaman seperti itulah seni dan gaya hidup menjadi alat protes mereka. Inilah kritik generasi pemimpi terhadap zamannya.

episode transisi

The Beatles dengan Lucy-nya berada dalam garda depan musik pop psikedelik. Konser Woodstock tahun 1969 menjadi kongres generasi bunga dimana cinta dan perdamaian menjadi narasi yang digemakan.

adegan yang mengingatkan memori pahit tentang identitas sebagai pribumi

Disaat menuliskan ini, hujan sedang turun, namun kepalaku menghangat membayangkan betapa merdekanya generasi pemimpi mempresentasikan eksistensinya. Dan kehangatan dalam kepala itu pula yang saya rasakan saat menyaksikan karya Bre Redana yang bertajuk Koran Kami With Lucy In The Sky.

Terlambat datang karena dihadang hujan, begitu tiba sudah disambut nyanyian Lucy In The Sky With Diamond dimana Tommy F Awuy bak konduktor yang mengajak penonton turut bernyanyi. Sementara Aria Baron mengiringi dengan gitarnya.  Sesudahnya potongan Koran Kami dibacakan bergantian oleh dua wartawan Kompas untuk  memperkenalkan tokoh ceritanya kepada penonton yang sebagian besar akrab dengan gambaran tokoh yang dibacakan. Bagian ini memang prosa yang menyelami realita dalam ruang dan waktu cerita. Setelah penonton mengenali tokoh dan alurnya maka adegan berikutnya adalah transisi kepemimpinan yang berdarah dalam format teater. Saya sendiri lebih memaknai adegan ini sebagai puisi visual yang menghadirkan tragedi dalam rupa mimpi. Namun cerita belum berakhir, masih ada Whiter Shade of pale milik procol Harum yang dinyanyikan duet oleh Nana Soebianto dan Tommy serta pembacaan irisan novel oleh dua jurnalis Kompas lainnya untuk memungkasi alur kisah Koran Kami.

Strategi kolaborasi lintas disiplin seni pada karya ini memang menjadi suatu kebutuhan untuk memberikan ruang kepada jaringan perkawanan Bre Redana yang luas. Sebagai wartawan, ia mengenal dan dikenal banyak figur populer dalam masyarakat kita. Dan pentas perpisahan dari jurnalis ini membuktikan luasnya pergaulan yang ia jalani selama ini.

Bre Redana pamit pensiun

Dalam perjalanan pulang dari Bentara Budaya Jakarta, tempat karya ini dipentaskan, kepala saya yang menghangat ini memikirkan apa yang harus dikritisi dari pertunjukan ini. Namun sampai saya menuliskan kata ke 546  ini tak jua saya temukan kritik yang sepadan. Saya malah menemukan dalih kenapa saya tak bisa membuat tulisan kritik. Karena untuk menghasilkan kritik maka saya harus mengetahui prosesnya dari awal hingga akhir agar mendapat gambaran yang luas mengenai muatan yang akan diangkat dari pentas ini. Lalu sebagai karya dari seorang pemimpi maka kritik yang seimbang haruslah muncul dari seorang yang realistis, dalam artian emoh bermimpi. Sebagaimana barok sebagai kritik terhadap rennaisans, klasik sebagai kritik terhadap barok, romantik sebagai kritik terhadap klasik. Maka sulitlah bagi pemimpi untuk mengkritisi pemimpi lainnya. Kalaupun mau dicari-cari adalah kurangnya bir yang disajikan. Saya kehabisan ketika hendak mencicipinya, padahal Bre dan bir adalah satu kesatuan dan acara belum berakhir selama beliau masih berada di Bentara Budaya Jakarta.

Tetapi saya harus mengakhiri menjadi penyaksi dan bergegas pulang, bukan karena ketiadaan bir tetapi saya sudah membeli tiket kereta pulang dan berdasarkan perhitungan maka bila saya pulang lebih dahulu akan sempat bersua kereta terakhir hari ini. Dan di sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah, kepala saya masih menghangat dan mengingat.

Mas Bre, jika anda membaca ini maka anda berutang segelas bir untuk mendinginkan kepala saya.

 

 

30 November 2017

01:56 WIB

 

Anarki; Suatu Salah Paham

2012 baru hadir dan serentetan kisah-kisah tragis telah menyerang nurani kita dari segala sisi. Media massa mengabarkan demo buruh menguasai jalan tol, massa mengepung dan membakar kantor Bupati, Ormas bertempur melawan ormas lainnya, demonstrasi mahasiswa dibubarkan paksa dan lain-lain sebagainya. Yang menjadi masalah adalah pelabelan Anarki/Anarkis/Anarkistis oleh media massa untuk setiap kejadian yang penuh dengan aksi kekerasan dan darah. Di harian Kompas edisi Sabtu 28 Januari 2012 tercatat berita dua kelompok warga berdamai untuk tidak melakukan anarki, dan itu baru satu dari beberapa berita di harian yang sama dengan mengutip pernyataan resmi Kepolisian akan terjadinya aksi anarkis pada saat demo buruh. Di Metro TV pada acara Suara Anda pada Jum’at 27 Januari 2012 malah mengusung tajuk Demo Anarkistis kala membicarakan aksi demo buruh. Ini baru dua media massa yang saya kutip padahal masih banyak lagi stasiun TV, Harian, Majalah dan lain sebagainya mengumbar kata Anarki/Anarkis/Anarkistis pada setiap kejadian yang berujung bentrok.

Peneraan kata Anarki/Anarkis/Anarkistis inilah yang menjadi pokok tulisan ini. Tetapi seyogyanya sebelum memberi cap kata tersebut alangkah bijaknya bila kita memahami dahulu arti kata tersebut. Menurut Kamus Merriam-Webster kata Anarchy berarti:

1. a: absence of government
b: a state of lawlessness or political disorder due to the absence of governmental authority
c: a utopian society of individuals who enjoy complete freedom without government
2. a: absence or denial of any authority or established order
b: absence of order : disorder <not manicured plots but a wild anarchy of nature — Israel Shenker>
Sedangkan Anarchism berarti:
1.: a political theory holding all forms of governmental authority to be unnecessary and undesirable and advocating a society based on voluntary cooperation and free association of individuals and groups
2.: the advocacy or practice of anarchistic principles.
Lalu kata Anarchist memiliki makna:
1.: a person who rebels against any authority, established order, or ruling power
2.: a person who believes in, advocates, or promotes anarchism or anarchy.
Sedang dalam pemahaman beberapa tokoh Anarkis lainnya (dikutip dari wikipedia),  Anarkisme memiliki arti:
“Anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia”(Peter Kropotkin)
“Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas”(Errico Malatesta)
Dari penelusuran makna kata Anarki/Anarkis/Anarkistis di atas tampak dengan terang benderang bahwa Anarki atau Anarkisme adalah suatu paham yang mengejar kemerdekaan individu tanpa negara sebagai regulator/otoritas yang selalu memaksa didalam pelaksanaan tugasnya. Dan yang menjadi sentral dari pemahaman diatas adalah bahwa Anarkisme tidak sama dan atau berarti paham kekerasan. Patut dikutip pendapat Alexander Berkman yang menulis dalam bukunya “What Is Communist Anarchist”:
“Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa anda harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang anda mau serta hidup di dalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan.”(Alexander Berkman, What is Communist Anarchist 1870 – 1936)
Sesudah menemukan titik terang tentang Anarkisme maka kini tinggal mengurai kaitan antara anarkisme dengan kekerasan seperti yang dilansir Pejabat Pemerintahan, Media Massa dan juga masyarakat awam. Yang menjadi sumber kegelapan dari kaitan kedua hal tersebut adalah tidak ada dalam sejarah Republik ini gerakan anarkisme melakukan pemberontakan kepada negara seperti sejarah kelompok Nihilis di Rusia pada zaman Tsar, atau Mikhail Bakunin di era Revolusi Rusia. Bila mengacu kepada dua contoh kecil di atas memang menjadi sah anggapan Anarkisme identik dengan gerakan kekerasan melawan otoritas negara. Tetapi pada masa lalu Indonesia tak pernah ditemukan gerakan Anarkisme memekar dalam revolusi kecuali gerakan-gerakan kecil yang dihapus dari buku histori oleh penguasa. Gerakan kekerasan justru banyak ditemukan pada kasus-kasus pelanggaran HAM oleh negara dari rezim orde lama sampai orde baru terbaru. Atau gerakan-gerakan dengan ideologi yang justru bertolak belakang dengan paham anarkisme semisal komunisme atau pemberontakan kaum beragama.
Kalau begitu, siapa yang telah mengidentifikasi anarki dengan aksi kekerasan? Yang pertama dan utama adalah Negara, karena paham anarkisme justru meniadakan negara dalam menggapai kebebasan dan kesetaraan di antara rakyat.  Lalu yang kedua adalah Kapitalisme, dalam hal ini korporasi-korporasi raksasa dunia melalui kaki tangannya di Indonesia menyebarkan opini-opini buruk tentang anarki melalui media massa dan akhirnya opini kacau tersebut sampai dan diserap oleh masyarakat begitu saja. Pihak ketiga yang berkepentingan dengan mendiskreditkan anarki adalah militer, karena militer di Indonesia bukanlah sahabat rakyat tetapi bagian dari penguasa sekaligus anjing penjaga kepentingan korporasi global.
Distorsi makna ini dilakukan trio ini dengan tujuan mengkambing hitamkan gerakan anarkisme sekaligus menghancurkan benih-benih anarki pada idealis-idealis muda bangsa ini. Dengan melakukan hal tersebut maka kejayaan trio ini akan terus bergelora dalam memanipulasi kekayaan bangsa ini.
Dari penjelasan singkat ini semoga terkuak cakrawala baru mengenai anarkisme dan tentu saja yang menjadi sasaran tulisan ini adalah masyarakat, bukan kepada media massa atau trio NKM (Negara, Kapitalis, Militer) karena kepentingan yang jelas berbeda.
Paling tidak masyarakat dapat membedakan mana anarkisme dan mana aksi kekerasan. Itu saja sudah cukup bagi saya.