Bagi mereka yang sudah berteater sejak dasawarsa 70-an, atau malah sebelumnya, pasti akan mengira ini topik usang dan plagiasi dari yang sudah digagas almarhum Danarto sejak 1978 lewat karya pertamanya Bel Geduwel Beh di seluruh area Taman Ismail Marzuki. Walau sebenarnya Danarto juga hanya memodernisasi gagasan teater tradisi yaitu meleburkan batas antara pemain dan penonton.
Tetapi bukan itu maksud dari tulisan ini. Baiklah, saya akui bahwa saya mencuri judul dari tulisan Danarto pada buku Pertemuan Teater 80 dan tujuan pencurian ini semata untuk mem-postmodernisasi gagasan Danarto yang, seperti saya tulis sebelumnya, memodernisasi gagasan teater tradisi.
Sejatinya tulisan ini mengarah pada bentuk dekonstruksi dari modernisasi atas tradisi itu sendiri.
Pada Danarto, batasan antara pemain dan penonton dihilangkan dengan cara memberikan ruang bagi penonton untuk menyerang pertunjukan. Karena roh dan daging dari pertunjukan adalah penonton. Isi pertunjukan sejatinya adalah kisah dari penonton, maka sesudah membayar untuk menyaksikan kisah mereka dibawakan tentu menjadi logis bila penonton berhak menyerang pertunjukan bila tidak sesuai dengan apa yang mereka pikir tidak sesuai, tidak menarik atau mungkin melenceng dari narasi yang mereka ingini. Karena teater butuh penonton, sebagaimana penonton butuh teater untuk melihat kisahnya.
Selain Danarto, tercatat nama Teater Kubur pada 1987 juga memainkan lakon Kucak Kacik dengan konsep teater tanpa penonton. Dindon memboyong banyak penonton untuk menjadi penyaksi sekaligus menjadi pengisi.
Bila kita bergerak mundur ke era pra-teater modern, maka semua teater rakyat di berbagai kultur di nusantara ini juga bergerak dalam spirit teater tanpa penonton. Pada pertengahan 90-an, saya pernah menyaksikan pertunjukan lenong pada sebuah hajatan di muka rumah keluarga yang berdarah Betawi. Batas antara penonton dengan pemain adalah ruang antara yang imajiner, entah mengapa semua penonton seolah tertib berdiri mengelilingi pemain walaupun tidak ada stage manager yang mengaturnya. Pada adegan banyolan, tokoh pembantu melemparkan pantun ke penonton yang bisa dibalas pula oleh penonton dengan pantun. Atau bisa juga dibalas oleh pemain lain yang belum dapat giliran masuk. Tidak hanya pada sesi banyolan saja, pada adegan perkelahian juga penonton bebas memberikan dukungan pada jawara pujaannya dan mencemooh jagoan yang tidak disenanginya. Pada lenong, yang kini mulai jarang saya saksikan lagi di hajatan warga Betawi di Tangerang, penonton bisa menyerang pemain walau koridor alur tetap utuh tidak diutak-atik dan ini membutuhkan pemain yang lentur dalam berimprovisasi dan disiplin menjaga plot.
Contoh lain dari teater tradisi di kultur lain juga memiliki kemiripan dengan lenong dan gagasan Teater tanpa penonton a la Danarto.
Lalu apa dekonstruksi yang ditawarkan oleh saya?
Idenya dilatari oleh upaya preventif global untuk mencegah penyebaran Covid-19 dimana social distancing menjadi strateginya. Menjaga jarak, tidak bepergian untuk hal yang tidak darurat, dan bekerja dari rumah adalah elemen-elemen social distancing yag menjadi kunci dari dekonstruksi. Teater tanpa penonton pada era ini tidaklah sama dengan gagasan modernisasi tradisi-nya Danarto. Karena memang ketidakhadiran secara fisik dari penonton adalah roh dan daging dari teater tanpa penonton kini.
Bila penonton tidak hadir, lalu siapa yang menjadi penyaksi sebuah pertunjukan? Kehadiran penonton secara fisik adalah sesuatu yang tidak pernah diperbaharui oleh pelaku teater sejak era Yunani kuno hingga kini. Argumentasinya adalah agar penonton bisa meresepsi secara emosional apa yang dihadirkan aktor lewat tubuhnya dan keseluruhan perangkat yang mengiringinya. Bila sebuah tragedi yang dibawakan aktor mampu membawa emosi penonton dalam suasana duka maka pertunjukan itu berhasil, begitu pula bila komedi mampu menghadirkan tawa.
Atau, karena teater tidak hanya media bagi literasi, jika tubuh aktor mampu menenggelamkan penonton dalam alienasi maka pertunjukan itu juga bisa disebut berhasil.
Penonton adalah tujuan dari semua bentuk pertunjukan teater.
Lalu bagaimana bila kehadiran penonton malah beresiko menyebarkan dan tertularnya mereka akan korona virus?
Maka penonton masih dapat hadir namun tidak secara fisik.
Teknologi informasi adalah medium yang digunakan penonton untuk bisa menyaksikan sebuah pertunjukan, melalui jaringan internet berkecepatan tinggi maka setiap detik adegan adalah detik yang sama dengan detak jantung penonton.
Pada 2018 di Bentara Budaya Jakarta, saya menyaksikan pertunjukan Teater Mandiri. Namun karena ketersediaan kursi yang terbatas maka saya tidak bisa masuk dan menonton dari halaman Bentara Budaya dengan bantuan sudut pandang kamera video yang merekam adegan demi adegan dan ditembakkan ke layar putih. Saya masih bisa tertawa sebagaimana gelak dari penonton di dalam kala dialog yang diucapkan begitu lucu. Saya juga masih bisa merasakan pergerakan alur seperti halnya para penyaksi di dalam sana. Tetapi memang ada yang hilang dari apa yang saya rasakan secara empiris. Saya merindukan kesatuan kosmis antara saya sebagai penonton dengan ruang serta waktu yang diciptakan pemain. Sebagai penonton yang berada di luar maka kerap tergoda untuk menatap uniknya puncak Menara Kompas atau lampu kecil yang menyala jauh dari posisi saya. Semesta yang saya alami berbeda dengan semesta yang digelar Teater Mandiri.

Ini tantangan yang harus dipecahkan bagi konsepsi dekonstruksi yang saya ajukan. Harapannya tentu di masa depan internet tidak hanya mampu mengirimkan data berupa suara, teks dan gambar saja namun juga bisa mengirim aroma dan sensasi psikologis semacam rasa sakit dan lain sebagainya. Bukan tak mungkin impian itu akan terwujud dalam waktu singkat dengan memanfaatkan teknologi Internet Of Things (IoT) yaitu dengan memanipulasi benda-benda elektronik di sekitar penonton untuk dikendalikan dari jarak jauh dan memainkan perannya sebagaimana perangkat teater konvensional semacam tata lampu, efek suara, atau malah bebauan.
Bila hal itu belum dapat terwujud kini lalu apa bedanya menyaksikan teater tanpa penonton dengan menyaksikan dokumentasi pertunjukan teater?
Konsep ini mau tak mau harus merevisi elemen pertunjukan yang umurnya sudah mencapai milenium yaitu: interaksi penonton.
Revisi yang dimaksud adalah membebaskan penonton untuk memberi efek tersendiri selama pertunjukan berlangsung dan bersifat sporadis. Melalui layar sentuh mereka bisa saja memperbesar area tertentu untuk fokus pada seorang aktor atau malah pada properti. Sporadis yang dimaksud adalah apa yang dilakukan oleh seorang penonton di titik A tidak berpengaruh pada apa yang dilakukan oleh penonton lain di titik B walau pun diantara keduanya bisa terkoneksi. Ini untuk menyelamatkan alur dan pesan yang ingin disampaikan pementasan itu. Interaksi bisa dilebarkan menjadi interreaksi atau bahkan interkoneksi. Interreaksi adalah respon diantara penonton yang bisa berupa pujian, kritikan, ikon, meme dan lain sebagainya yang terbaca pula oleh pemain. Seperti kolom komentar pada live streaming. Interkoneksi adalah aksi sepihak yang terkoordinir secara spontan oleh penonton misalnya untuk memboikot pertunjukan jika dirasa pementasan tidak berjalan seperti yang mereka harapkan. Kejam sekali memang, tetapi ini adalah era liberalisasi teknologi informasi dimana setiap orang berhak berkomentar secara frontal dan dangkal sekalipun. Karena itu maka teater dituntut pula untuk memiliki stamina yang elastis sekaligus tahan banting. Bukan tidak mungkin alur bisa diubah secara kilat bila melihat grafik penonton yang menurun. Ini tantangan yang radikal, bukan?
Bagi pelaku teater sebenarnya ini juga peluang untuk menciptakan konsep artistik yang tidak hanya futuristik, dalam artian belum terpikirkan hingga kini oleh penata artistik lainnya, namun juga tetap estetik.
Konsep artistik bisa saja berupa platform dengan memberi rung imajiner bagi penonton mendesain artistik semampunya dengan resiko banalitas namun dilokalisir dengan metode sporadis yang bisa diprogram pada platform.
Musik atau efek bebunyian bisa dilakukan dengan IoT, dengan mengambil alih kendali pemutar musik atau piranti lain yang bisa digunakan di lokasi penonton sehingga musik atau efek bebunyian yang dihadirkan akan berbeda antara satu penonton dengan yang lainnya.
Begitu juga dengan cahaya lampu yang dikendalikan jarak jauh. Akan lebih baik bila lampu yang ada di lokasi penonton bisa dinaik turunkan daya listriknya seperti dimmer tetapi bila tidak dimungkinkan maka gelap dan terang adalah dua hal yang bisa dimainkan.
Bagaimana dengan aktor? Mungkin pada tahap awal aktor bisa tetap berperan seperti biasa namun bukan tidak mungkin di kemudian waktu para penonton bisa mengganti wajah aktor dengan wajah penonton dengan menerapkan teknologi Artificial Intelligence dimana sistem komputasi penonton sudah memenuhi syarat untuk bisa melakukan itu.
Bagaimana dengan unsur-unsur lainnya? Ini adalah dekonstruksi dengan probabilitas tanpa batas. Hingga malam ini saat menulis tidak semua kemungkinan sanggup saya bayangkan. Ada banyak potensi dan peluang isian ide untuk mendekonstruksi teater tanpa penonton untuk dipikirkan bersama-sama dengan mereka yang tertarik dengan gagasan ini.
Sekitar tahun 2010, saya pernah merencanakan sebuah pertunjukan kolaborasi dengan berbagai pemain di berbagai lokasi dengan perantaraan internet. Setiap adegan yang ditampilkan setiap pemain di setiap tempat saling terikat dalam hukum kausalitas sebab-akibat atau aksi-reaksi. Tetapi gagasan ini masih serupa gas yang tidak terlihat, karena keterbatasan dalam banyak hal. Bisa jadi itu titik awal dalam mengaplikasikan teknologi informasi dalam mengerutkan ruang dan waktu pertunjukan. Walaupun pada saat itu saya pun belum terpikirkan untuk mendekonstruksi kehadiran penonton.
Mungkin titik awal itu bisa direalisasikan menuju teater tanpa penonton 4.0. Jika tidak, ya kembali saja ke masa 40 tahun lalu. Masa Bel Geduwel Beh.
