Maaf jika saya menuliskan judul tulisan ini dalam bahasa Inggris, bukan karena saya ingin mengikuti tren berbahasa yang mulai mencampur bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari atau ingin dianggap pintar karena menguasai bahasa internasional. Judul tersebut saya kutip dari frasa ironis yang umum dalam dunia jurnalistik; bad news is a good news. Berita buruk adalah kabar baik. Ini bukan berarti para jurnalis menari di atas penderitaan orang lain tetapi kewajiban insan pers untuk mewartakan kejadian menuntut mereka harus siap bahkan dengan kabar terburuk sekali pun. Wartawan juga manusia dan di saat memberitakan tragedi maka hati mereka juga tersentuh namun profesionalisme dan kode etik membuat mereka harus obyektif dalam mengabarkannya. Dalam setiap kabar buruk ada berita yang harus disebarkan dan itulah tugas setiap jurnalis. Kekuatan media massa memang sudah diakui sebagai pilar ke-empat sesudah trias politica; yudikatif, legislatif dan eksekutif. Hubungan diantara mereka semua serupa kekasih gelap, saling mencumbu namun tak ada yang mengaku. Karena di era demokrasi ini faktor popularitas yang disokong pers akan mendongkrak tingkat elektabilitas.
Bencana pohon tumbang
Namun sebagaimana para pesohor yang terlebih dahulu bersimbiosis mutualisme dengan pers, maka kabar buruk pun bisa diposisikan sebagai kabar baik. Berada didalam jangkauan radar media massa terus menerus bisa menambah atau minimal mempertahankan popularitas dan untuk itu para pesohor tak jarang memakai cerita yang menguras emosi publik untuk dikonversi sebagai berita. Sejalan dengan trik selebritas tersebut kini juga banyak politikus menggunakan cerita untuk membentuk citra dan dikemas dalam bentuk berita. Apakah ini salah? Bila merunut pada aspek yuridis maka yang dimaksud sebagai tugas pers adalah memberitakan dengan porsi perimbangan melalui konfirmasi dan klarifikasi serta sesuai dengan fakta dan bukti nyata. Maka bila sebuah berita, walau sensasional sekali pun, bila sudah melalui tahapan-tahapan tadi layak disebut berita yang valid. Namun bagaimana bila fakta dan bukti adalah hasil konstruksi yang disertai konfirmasi dan klarifikasi dari sumber imitasi yang hanya menghasilkan berita palsu, apakah kesalahan layak ditanggung media massa yang memuat berita? Tentu saja tidak demikian, namun media bersangkutan wajib memuat sanggahan dari sumber otentik yang terkait dan menuliskan ralat atas pemuatan berita palsu itu. Namun publikasi atas solusi masalah tersebut masih belum meluas, maka tak heran sering terjadi pengerahan massa untuk mengancam redaksi atas kabar bohong yang disebarkan walau tak dipungkiri juga aksi massa tersebut juga bisa bertujuan ganda untuk mengintimidasi redaksi. Bingkai pemberitaan menjadi cara ampuh untuk mengeksplorasi atau mengeksploitasi popularitas, dan karena itu mengokupasi redaksi menjadi jalan cepat menuju pembingkaian yang bagus. Di masa huru-hara 1965, tentara segera merebut pemberitaan untuk melokalisir berita dari Dewan Revolusi dan memenangkan opini dari masyarakat dan cara itu berhasil sehingga publik disajikan kabar dari pihak militer semata dan mudah untuk dimobilisasi sesuai kepentingan militer kala itu. Di masa orde baru, lewat Departemen Penerangan, negara mengontrol ketat pemberitaan dengan regulasi akibatnya pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) menjadi hal yang dihindari media massa. Banyak dari contoh pencabutan SIUPP (Sebelumnya bernama SIT atau Surat Izin Terbit) terjadi karena pewartaan negatif terhadap negara dan keluarga Cendana. Di era reformasi yang diwarnai dengan kendornya regulasi maka euforia informasi terjadi melampaui batas, akibatnya banyak penerbitan baru muncul bak nyanyian katak menjelang hujan. Semua bisa memiliki media massa dengan aturan yang mudah. Dan di zaman revolusi teknologi malah setiap orang bisa memiliki medianya sendiri-sendiri dan dipublisir melalui internet. Namun ironisnya, kuantitas media tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas media itu sendiri. Karena untuk bisa meluas, banyak media menggunakan jurus tukang koran di bis kota (di era 70-80an). Pada masa lalu, tukang koran sering menggunakan judul-judul bombastis yang bisa saja dipelintir untuk diteriakkan dan menarik perhatian orang untuk membeli. Contoh menarik dan nyata bisa disimak dalam salah satu adegan di film Warkop DKI yang saya lupa judulnya namun menggambarkan polah tukang koran yang mengibuli pembeli dengan promosinya. Hal serupa terjadi dengan media masa kini yang demi mengejar pengunjung situs menuliskan judul yang se-provokatif mungkin. Tak jarang kaitan antara judul dengan isi justru tidak terkoneksi, tetapi bila itu berhasil menarik pembaca tidaklah soal bagi mereka. Segmentasi dan fragmentasi publik sudah demikian tajamnya maka berita dari media A hanya untuk kalangan tertentu saja sebagaimana pemberitaan dari media B yang terfokus untuk golongannya juga. Setiap berita memiliki massanya tersendiri. Dan tentunya seperti media konvensional, memiliki efek popularitasnya tersendiri. Ini adalah basis bagi tokoh publik atau politisi untuk meningkatkan nilai keterpilihannya. Dalam peristiwa politik internasional, kesuksesan Donald Trump terpillih sebagai Presiden Amerika Serikat ditengah tuduhan cabul dari banyak perempuan terhadapnya tak menyurutkan citranya. Donald Trump memiliki media dan tentunya uang, semuanya ia kerahkan untuk membingkai dirinya dalam pemberitaan yang membuat publik Amerika percaya bahwa Trump dibutuhkan Paman Sam. Setidaknya bagi pemilihnya. Okupasi Trump atas media berlangsung halus dan berbungkus bisnis dengan nilai ekonomi yang tentunya tidak sedikit. Pola relasi seperti ini yang marak terjadi sejak era revolusi teknologi informasi terjadi. Tidak mungkin lagi menggunakan cara kasar seperti masa lalu karena akan dianggap tidak demokratis. Sementara dalam kasus domestik, banyak elit partai politik yang dikenal juga sebagai saudagar media. Dengan memiliki medianya sendiri maka akan terjaga citra baik darinya selain itu juga sebagai sarana publikasi atas kinerja positifnya sekaligus menyebarkan prestasi buruk dari lawan politik. Hal ini lumrah terjadi karena memang relasi mesra antara pers sebagai kekuatan ke-empat dengan trias politika sebagaimana yang saya tulis sebelumnya.
Wah, panjang sekali alinea di atas. Padahal saya belum memasuki inti persoalan seperti yang tersirat dalam judul.
Kabar buruk adalah kabar baik dalam politik, dengan menyebarkan berita buruk atas nasib rakyat akan menebarkan ketidakpercayaan atas kesanggupan penguasa dalam menguasai dan menyelesaikan masalah bangsa. Kenaikan harga BBM bisa berdampak naiknya pula popularitas penantang penguasa. Semakin rendah daya beli masyarakat maka bisa menurunkan tingkat elektabilitas penguasa. Frasa bad news is a good news mendapatkan aktualisasinya dalam medan politik. Satu kabar buruk dapat merontokkan sembilan kabar baik bila di eksplotasi dan mampu memobilisasi massa untuk bergerak. Kita tidak bicara etika disini, namun logika matematis. Jangan biarkan hati bersuara karena ini masalah kursi untuk kuasa. Tak heran eksplotasi kabar buruk juga bisa memakai tenaga-tenaga cendekiawan atau bahkan ulama untuk bisa menggerakkan massa demi tercapainya tujuan politis. Kasus Ahok yang disangkakan menista agama sejatinya adalah peristiwa politik untuk menyingkirkan Ahok dari peta politik. Karena setiap politikus tidak boleh salah namun tetap tak berdaya bila kekuatan massa bergerak. Ahok menjadi salah karena publikasi massif bahwa ia menista agama membuat publik percaya dan marah sehingga turun ke jalan. Walau bukti-bukti tak cukup kuat namun demonstrasi besar yang terjadi setiap persidangan tak urung membuat majelis hakim juga terintimidasi, itulah kenapa proses peradilannya menjadi lebih cepat dari biasanya. Aksi massa adalah segalanya. Dan untuk menggerakkan massa perlu publikasi pembingkaian berita lewat media. Inilah hebatnya revolusi teknologi informasi. Seperti di beberapa negara Arab beberapa tahun lalu yang dilanda revolusi musim semi karena pemberitaan massif lewat media sosial atas kematian seorang rakyat yang meluas menjadi pembangkangan sipil. Kabar buruk menjadi berita baik bagi politik.
Tetapi, bagaimana jika kabar itu terlalu buruk, misalnya bencana alam atau kecelakaan massal? Apakah itu bisa menjadi kabar yang lebih baik lagi bagi penantang penguasa untuk merebut jabatan politis?
Di Indonesia yang sedang menjadi bulan-bulanan bencana belakangan ini justru berlaku negasi atas tanda tanya tadi. Saat gempa Lombok terjadi, semua media berduyun-duyun ke sana untuk mendapat akses dan liputan terkini dari lokasi. Negara juga sigap lewat institusi yang dibentuknya untuk penanggulangan bencana. Empati publik menimbulkan solidaritas masyarakat. Semua bersatu dalam pemberitaan dan penguasa hadir didalamnya untuk melaksanakan tugasnya sekaligus juga memberikan citra positif atas kinerjanya. Tak ada ruang untuk mempolitisir masalah ini. Bukti saat peristiwa musibah tenggelamnya kapal di Danau Toba dimana seorang Ratna Sarumpaet berusaha membuka isolasi atas isu politik terhadap musibah ini juga menimbulkan antipati dari publik. Usaha politisasi itu pun gagal. Dan ia mencobanya kembali saat publik terpaku dengan gempa Lombok, namun kegagalannya lebih besar lagi karena ia mengakui bahwa kasus pengeroyokannya adalah berita palsu. Tetapi harus diakui bahwa terjadi peralihan atas interes masyarakat ke politik. Media kembali memunculkan isu politik, walau negatif namun itu bisa positif karena di masa kampanye yang panjang ini dan di tengah konsentrasi massa akan bencana akhirnya bisa juga menoleh ke politik. Walau tak lama karena kini terjadi lagi bencana dan ini diluar kemampuan manusia, penguasa kembali mendapat kesempatan publikasi besar-besaran lagi dan menenggelamkan penantangnya. Maka perlu ada ‘Ratna Sarumpaet’ lain untuk memecah isolasi berita serupa. Masalahnya, pengorbanan yang besar walau memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi namun juga mengandung resiko kegagalan yang dahsyat pula. Itulah bencana, berita yang tidak diperkirakan namun tak bisa ditolak kedatangannya oleh semua kekuatan di dalam dunia.