Saya dikibuli Orde Baru. Mereka mencekoki saya dengan pemahaman bahwa kiri itu komunis dan kanan adalah fundamentalis.
Reformasi membuka mata saya bahwa kiri adalah sosialis yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan kanan itu kapitalis yang membela pemodal belaka.

Diadaptasi dari ucapan Romo Mudji pada sebuah program dialog di SCTV pada medio 1998.

ADESTE FIDELIS

Fidelis Arie Sudarwoto menjadi nama simbolik bagi perjuangan seoang suami demi kesembuhan istrinya. Bila anda rajin menyimak berita-berita pada pekan ini maka nama Fidelis Arie menyeruak di tengah gencarnya warta persidangan Basuki Tjahaja Purnama, korupsi KTP elektronik dan kabar-kabar politis lainnya. Fidelis ditahan polisi atas tuduhan kepemilikan 39 batang pohon ganja di rumahnya, ia menanam bukan untuk menjadi petani ganja atau pengedar karena jumlah yang disita tidaklah banyak. Ia menanam untuk pengobatan istrinya yang tidak tersembuhkan oleh pengobatan modern dan juga tradisional.

Dalam wawancara bersama Kompas TV, Yohana, Kakak tersangka, mengatakan bahwa pengobatan yang dijalankan Fidelis didapat dari internet dan hasilnya pun terbukti positif karena istri tersangka akhirnya bisa tidur pulas, dapat makan dan mampu bicaa kembali. Indikasi baik ini menjadikan Fidelis terus menjalankan pengobatan dengan ekstrak ganja kepada istrinya.

Sayangnya pengobatan ini terhenti setelah polisi dan BNN mendapat laporan dan mendapati 39 batang pohon ganja di bawah kepemilikan Fidelis Arie, ia pun di tahan dan sang isti yang menjadi subyek pengobatannya dipindahkan ke rumah sakit. Bukannya membaik, kondisi istrinya memburuk dan akhirnya meninggal di rumah sakit tanpa ada upaya berarti dari para dokter.

Fidelis, kemungkinan besar nama ini berasal dari bahasa latin fideles yang berarti ‘orang beriman’, adalah potret buram dari kekakuan perangkat hukum dalam menerjemahkan tindakan hukum yang tepat. Pihak polisi dan BNN berdalih bahwa berdasarkan UU No 23 Tahun 2009 di pasal 111 maka tindakan yang dilakukan Fidelis dapat dikategorikan melanggar hukum pidana. Humas BNN berkutat pada alasan bahwa selama pasal tersebut belum diubah maka tindakan Fidelis dapat dikenakan tuntutan hukum dengan mengabaikan apapun alasannya.

Pengobatan menggunakan ganja bukanlah hal baru, ada banyak contoh kasus dimana penderita kanker dan epilepsi  mendapat manfaat positif dari pengobatan ini. Sejumlah ahli farmasi pun sudah melakukan penelitian tentang manfaat ganja secara medis, tulisan mengenai laporan penelitian mereka dapat anda temukan di internet. Di banyak negara pun penggunaan ganja untuk pengobatan medis sudah disetujui dengan resiko mengubah ganja dari narkotika golongan 1 menjadi golongan 3. Negara terakhir yang menyetujui aturan ganja untuk pengobatan adalah Turki dan banyak negara lainnya akan segera menyusul.

Di Indonesia pun wacana ini sudah digulirkan berbagai pihak sejak lama, pada kabinet SBY kedua sudah ada langkah maju dari Kementrian Kesehatan untuk memulai penelitian manfaat medis dari ganja. Namun pergantian kabinet rupanya juga pergantian kebijakan dan upaya Kemenkes tidak ada warta  selanjutnya.

Apa yang sudah dilakukan Fidelis adalah dua langkah maju dari apa yang Kemenkes akan rencanakan sebelumnya. Fidelis langsung menerapkan tanpa pengetahuan yang memadai kecuali apa yang ia dapat dari internet. Ia mampu membuat istrinya bisa tidur, makan dan bicara. Hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh para dokter sebelumnya. Fidelis tentu tidak dapat dikategorikan melakukan penyalahgunaan, melainkan pembenargunaan. Ia mengolah ganja, yang adalah ciptaan Tuhan, dan menjadikannya bermanfaat sebagai bahan pengobat bagi penyakit istrinya.

Fidelis melakukannya karena rasa cinta, dengan iman yang penuh bahwa istrinya akan segera sembuh. Ia tidak berpikiran menggunakan ganja untuk meraup keuntungan sebagaimana para bandar narkotika.  Walau ia pun sadar tindakannya beresiko hukum. Namun keyakinannya untuk kesembuhan istri tercinta mengalahkan rasa takutnya akan ditangkap aparat.

Hukum memang berlaku untuk semua masyarakat tanpa kecuali, tetapi esensi hukum adalah menegakkan keadilan dan bukan penghukuman secara membabi buta. Hukum yang adil mesti mengikutsertakan hati dalam penilaiannya, tanpa keterlibatan hati maka hukum terasa kering dan tak dapat dipercaya. Dalam kasus Fidelis, hukum menjadi perangkat prosedural yang kaku dan sudah mengakibatkan jatuhnya korban yaitu istri Fidelis. Apakah ini adil?

Bagaimana mengakhiri dilematika ini? Humas BNN sebenanya sudah memberi sinyal bahwa selama belum ada perubahan dalam UU tentang Narkotika maka kepemilikan ganja untuk tujuan medis sekalipun adalah perbuatan melanggar hukum pidana. Artinya, aturan hukumnya perlu diubah. Malangnya kita tidak bisa berharap dari legislatif yang sampai saat ini masih kedodoran dalam pembahasan Undang-Undang yang masuk dalam prolegnas.Materi legislasi yang masuk dalam prolegnas pun tentu tidak mudah karena melewati seleksi ketat yang berpotensi ‘diuangkan’ oleh pihak legislatif. Karenanya tidak heran bila ada RUU yang perlu lebih dari satu periode untuk pembahasannya. Lain halnya bila RUU yang dibahas mendatangkan manfaat ekonomi bagi pihak-pihak tertentu dalam lingkaran legislator  tentu akan cepat menjadi UU. Bagaimana dengan UU Narkotika?

Realitanya akan menjadi  sulit bagi DPR periode sekarang untuk merevisinya, tetapi bukan berarti tidak mungkin karena di negara lain pun yang sudah menyetujui penggunaan ganja secara medis juga membutuhkan perjuangan yang lama. Desakan elemen masyarakat adalah alat perjuangan untuk legalisasi ganja medis. Kriminalisasi terhadap Fidelis adalah penyemangat para pejuang senyum untuk terus mendesak pemerintah memulai penelitian ganja secara medis. Wawasan masyarakat perlu dibuka bahwa ada pembenargunaan dari ganja yang selama ini tidak mereka ketahui karena ditutupi agitasi aparat yang menakut-nakuti dengan ancaman hukuman.

Ini adalah perjuangan orang-orang yang memiliki keyakinan. Sebagaimana langkah kaki orang beriman yang mantap walau banyak duri berserakan di jalanan karena seperti Fidelis,mereka melakukannya dengan kecintaan, dengan keyakinan bahwa jalan mereka adalah baik bagi orang lain yang menderita penyakit berat, dengan keimanan bahwa Tuhan sudah menyediakan obat bagi segala penyakit.Maka, datanglah wahai orang-orang yang beriman, wahai orang-orang yang berkeyakinan, dan kita suarakan bahwa Fidelis dan mereka yang bernasib sama dengan istrinya layak diselamatkan hidupnya. Karena dengan menyelamatkan mereka maka secara tidak langsung kita juga menyelamatkan hukum dari prosedural kaku dan kering yang memisahkan hukum dengan keadilan, yang menjauhkan hukum dari rasa percaya masyarakat.

 

Catatan:

Judul “Adeste Fidelis” adalah plesetan dari bahasa latin “Adeste Fideles” yang berarti “Datanglah orang-orang beriman”.

 

PERMENHUB 32 TAHUN 2016: Gula-gula Untuk Sopir Angkot

1 April kini tidak lagi dimonopoli April Mop. Lelucon yang diadaptasi dari luar negeri tersebut mendapat pesaing tangguh dari dalam negeri. Namun yang ini bukan guyonan a la April Fool’s day, melainkan hal yang patut diperhatikan dengan serius. Mulai 1 April 2017 berlaku revisi terhadap Peraturan Mentri Perhubungan No 32 Tahun 2016 yang mengatur tentang moda transportasi darat di seluruh wilayah Indonesia. Peraturan tersebut direvisi guna mengakomodasi tuntutan para sopir angkutan kota dan taksi di beberapa kota yang merasa penghasilan mereka turun akibat keberadaan angkutan berbasis aplikasi.

Kemajuan teknologi informasi yang melesat secepat kilat memang membuat sebagian besar orang seperti tertinggal jauh. Berkat revolusi teknologi setiap orang dimungkinkan untuk melakukan apa pun melalui ponselnya. Hal tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh mereka yang kreatif guna melakukan terobosan dalam berusaha guna mempermudah. Dari sisi konsumen pun turut dimudahkan untuk melakukan pencarian, pemesanan, pembelian dan layanan purna jual. Situs-situs belanja menjadi situs-situs yang banyak dijelajahi oleh pengguna internet. Uang yang tersirkulasi melalui dunia maya pun tidak sedikit jumlahnya. Hal tersebut membuat banyak pelaku usaha yang sudah mapan mulai melebarkan sayapnya ke internet.

permenhub 32/2016

Tidak terkecuali dengan bisnis transportasi. Bermunculan inovasi dalam usaha angkutan darat.  Taksi, ojek motor hingga kurir sepeda menjadi moda transportasi yang menawarkan pilihan baru yang mudah, murah, aman dan nyaman bagi publik. Akibatnya masyarakat mulai beralih ke pola transpotarsi baru ini.

Migrasi konsumen inilah yang berdampak merugikan bagi sopir-sopir angkutan umum dan taksi. Dilain sisi, pemerintah pun belum siap  akan perubahan yang terjadi ini. Regulasi tertinggal jauh oleh pesatnya inovasi. Namun kepentingan masyarakat yang mulai diuntungkan oleh moda transpotasi berbasis aplikasi pun tidak bisa dihilangkan begitu saja hanya karena belum diatur dalam regulasi. Para sopir yang merasa putus asa dengan terus turunnya pendapatan mereka memilih untuk menuntut pemerintah menghapus keberadaan taksi dan ojek berbasis aplikasi ketimbang memperbaiki layanan mereka terhadap publik.

Demonstrasi para sopir di beberapa kota berbuntut rusuh. Di Kota Tangerang seorang sopir angkot menabrak dengan sengaja seorang pengojek aplikasi dan meninggalkannya tanpa pertolongan, akibatnya pembalasan terjadi dari rekan-rekan ojek yang melakukan perusakan terhadap angkutan kota. Polisi dibantu TNI melerai dan memediasi kedua pihak disaksikan oleh Walikota. Hasilnya tidak langsung bisa dirasakan, karena aksi-aksi saling membalas masih terjadi beberapa kali. Begitu pun yang terjadi di kota-kota lainnya, peristiwa nyaris serupa terulang. Dan dari keseluruhan insiden tersebut masyarakat kembali dirugikan. Ketiadaan angkutan umum yang sibuk mogok membuat penumpang terbengkalai di jalan-jalan raya.

Sejatinya tanpa insiden tersebut pun masyarakat sudah dirugikan oleh angkutan umum selama ini. Para sopir angkutan umum selalu merasa bahwa publik lebih membutuhkan mereka dari pada mereka membutuhkan penumpang ini diindikasikan dengan terlalu lamanya angkutan umum memangkal menunggu mobilnya penuh tanpa memperhatikan kebutuhan penumpang yang ingin selekasnya tiba di tujuan. Bagaimana jika penumpang protes? Jawaban seragam akan keluar,”Naik taksi aja kalau mau cepat.”

Kenaikan tarif sepihak juga selalu terjadi tanpa memperhatikan keberatan masyarakat, walau pun pola kenaikan tarif selalu di mediasi pemerintah daerah agar tidak semena-mena namun realitas di lapangan mereka tetap membulatkan kenaikan tarif ke nominal terbesar. Ambil contoh bila kesepakatan tarif naik sebesar 15% maka ongkos yang semula 2000 yang seharusnya menjadi 2300 bisa menjadi 2500 atau melonjak 25%. Dalam kasus taksi biasanya modus mereka justru tidak memakai argo.

Faktor keamanan juga menjadi rentan bagi publik pengguna angkutan umum. Terlebih bagi perempuan. Sudah banyak kasus pemerkosaan atau penodongan yang terjadi di dalam angkutan umum baik yang dilakukan oleh sopir atau kriminal yang beroperasi di dalam angkot atau juga taksi.

Dari kerugian demi kerugian yang selama ini di alami oleh masyarakat maka kemanakah mereka bisa mengadu? Tidak ada satu pun angkutan kota yang memiliki pusat layanan pengaduan, seakan semuanya menjadi resiko yang harus ditanggung publik. Taksi pun yang selalu menuliskan nomor layanan di bodi atau pada dashboard sopir pun selalu sulit untuk dihubungi baik untuk pemesanan apalagi keluhan.

Ditengah suasana ketiadaan pilihan tersebut maka angkutan berbasis aplikasi hadir menjawab kebutuhan masyarakat akan moda transportasi yang memudahkan mereka dengan ongkos yang murah, keamanan yang terjamin dan mengutamakan kenyamanan pengguna. Mereka menjadi opsi logis karena angkutan umum yang ada tidak kunjung sadar untuk memperbaiki kualitas layanan kepada publik.

Animo masyarakat tersebut semestinya menjadi petir yang mengguncang langit pemerintah dengan pengusaha angkutan untuk serius memperhatikan kebutuhan dan keluhan pengguna angkutan. Memang tidak mungkin bagi masyarakat untuk mogok massal naik angkutan umum tetapi bila itu dilakukan maka kerugian besar akan dialami pengusaha angkutan dan para sopirnya.

Publik harus dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan agar setiap aturan yang mengikat masyarakat akan terasa nilai keadilannya. Tidak terkecuali dengan revisi Permenhub no 32 Tahun 2016 yang dilakukan hanya untuk meredam tuntutan para sopir semata. Pemerintah yang diwakili kemenhub beserta Organda dan perwakilan angkutan berbasis aplikasi memang sedang merundingkan kepentingan mereka masing-masing dan mengabaikan suara masyarakat. Tak salah jika saya memandang revisi ini semacam gula-gula bagi para sopir agar menghentikan aksinya. Dan yang namanya gula-gula tidak baik bagi kesehatan kita.