Posted on

KENAPA SAYA GOLPUT DI PILGUB BANTEN 2011

Sebenarnya saya tidak terlalu antusias dengan hiruk pikuk pemilihan gubernur Banten pada tahun ini, sejak mengetahui nama-nama yang lolos sebagai kandidat dan tak ada satupun calon yang mampu menjembatani aspirasi seperti yang saya inginkan. Sejauh ini saya berusaha menghindar dari proses yang berlangsung, bahkan pada saat penyanyi idola saya (waktu masih sekolah) Iwan Fals menggelar konser pun di Kota Tangerang saya tidak berniat menghadirinya karena di acara tersebut turut hadir salah satu kandidat yang juga Walikota Tangerang sekarang. Konser tersebut berpotensi menjadi ajang kampanye terselubung dari sang Walikota dengan memanfaatkan nama besar Iwan Fals. Karena itulah saya memilih untuk tidak datang di acara tersebut.
Waktu terus berlalu, kampanye pemilihan Gubernur Banten pun berlangsung namun saya memilih tidak terlibat sama sekali. Hingga akhirnya di suatu hari minggu lewat tengah malam saya bertemu dengan ketua RT yang juga Ketua TPS tempat saya memilih. Pertemuan yang tidak disengaja, dan dalam “diskusi” itu saya baru mengetahui beberapa fakta yang membuat saya merasa harus terlibat. Pak RT mengabarkan bahwa baru saja ada pertemuan khusus yang digelar oleh Pak Lurah guna membicarakan beredarnya stiker kampanye yang menurut saya kreatif namun di mata Lurah dan sebagian besar birokrat di bawahnya itu termasuk kampanye hitam. Stiker itu berwarna biru dengan tulisan besar di atasnya “SAATNYA BERUBAH…” dan dua gambar di tengah dengan foto Nazaruddin dalam pose khas Wahidin Halim dan satu lagi foto Satria Baja Hitam. Beredarnya stiker tersebut di sekitar tempat saya tinggal meresahkan Lurah sehingga perlu mengumpulkan jajaran di bawahnya untuk mencari dan merobek stiker-stiker tersebut. Hal ini menjadi titik balik dari ketidak pedulian saya akan proses Pilkada yang berlangsung.
Betapa birokrasi masih menjadi alat bagi pemenangan bagi kandidat tertentu. Ini borok lama yang belum tersembuhkan bahkan di era reformasi sekalipun, terbukti Rezim Jendral SBY pun perlu membuat Kementrian yang khusus menangani Reformasi Birokrasi. Tetapi ini juga menjadi indikasi betapa kebijakan sang presiden belum tentu di jalani oleh “presiden” kecil di provinsi, kabupaten, kota terus sampai ke bawahnya.
Birokrasi belumlah menjadi pelayan rakyat, tetapi masih menjadi momok menakutkan bagi rakyat. Dengan arogansi yang dimilikinya mereka dapat memaksa rakyat membayar pungli untuk hal-hal yang sudah sewajibnya mereka kerjakan.

bendera putih
Beberapa bulan sebelumnya juga saya membaca di surat kabar bahwa ada lurah yang digeser dari kedudukannya karena diduga mendukung calon yang menjadi saingan sang walikota. Tetapi hal ini pun saya yakini juga terjadi di jajaran Provinsi dengan modus mutasi para kepala dinas atau lainnya yang tak terdeteksi oleh rakyat juga media massa.
Sulitnya mengubah paradigma birokrat agar menjadi pelayan bagi rakyatnya ini tak bisa disembuhkan dengan program-program yang dijanjikan selama tidak ada perubahan paradigma juga terutama dari para kepala daerah untuk menjadi pelayan rakyat. Melayani hanya menjadi slogan indah tanpa implementasi yang terbukti, inilah yang membuat para birokrat seakan mengacuhkan saja janji-janji manis reformasi birokrasi karena mereka tak melihat hal tersebut sudah dilaksanakan sang kepala daerah.
Kompleksitas masalah tersebut membuat saya malas berurusan dengan birokrasi, karena mereka memang berprinsip “kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?”.
Kepedulian saya pada proses pilgub Banten kali ini tidak hanya berfokus pada hal-hal yang berkutat dengan birokrasi, tetapi yang lebih utama adalah kala membaca nama-nama para calon Gubernur dan Wakil Gubernur.
Saya tidak melihat adanya pilihan terbaik bagi berkembangnya demokrasi yang sehat di Provinsi Banten. Kalau demikian adanya saya memilih untuk tidak memilih.
Dari pasangan Atut dan Rano saya merasakan dilema, kalau memilih mereka maka sama saja mencederai demokrasi karena kuatnya aroma dinasti dari pasangan ini. Sudah umum diketahui bahwa keluarga (Alm) Tubagus Sochib (ayah dari Atut) memiliki pengaruh yang luar biasa di provinsi Banten. Hegemoni mereka tidak hanya di lingkup politik tetapi juga di jalur ekonomi. Seakan monarki konstitusional berlangsung di Banten. Padahal demokrasi memberikan peluang yang sama besar kepada setiap warga negara untuk memilih dan dipilih tidak hanya kepada orang-orang yang kuat secara politik dan ekonomi.
Pasangan Wahidin dan Irna pun tak beda. Dengan citra moralis, hegemoni juga terjadi di lingkup kota Tangerang. Namun untuk Wahidin pun saya punya catatan buruk dengan apresiasi yang tak ramah terhadap kesenian kontemporer di kota Tangerang kecuali bila pegiat seni tersebut manut terhadap kebijakan yang dikeluarkannya. Citra moralis lewat slogan “Akhlakul Karimah” pun sebatas upaya politis semata untuk mendapat dukungan dari ulama di Tangerang. Dari dulu saya tak pernah mempercayai politisi yang memakai agama sebagai basis kebijakannya karena pastilah mereka penipu yang hebat. Karena mereka tidak hanya sedang membodohi rakyat tetapi juga mengangkangi Tuhan.
Sedang pasangan Jazuli-Muzakki sangat bombastis dalam melontarkan janji dan memang sudah sewajarnya mereka begitu agar mendapat simpati rakyat. Tetapi politisi PKS saya ragukan komitmennya terhadap keanekaragaman, teringat kasus Depok waktu Walikotanya dipegang bekas Presiden PKS dan mengeluarkan kebijakan yang tidak melindungi minoritas. Sungguh, pasangan no 3 ini tak bisa dipercaya untuk menjaga pluralisme.
Dengan analisa subyektif ini saya mendapati bahwa tak ada satupun kandidat yang layak dipercaya untuk meneruskan suara saya. Dan pastinya banyak pembaca yang setuju ataupun tidak menyetujui pernyataan saya ini. Tetapi demokrasi mensyaratkan perbedaan dihadapi dengan otak bukan caci maki atau otot. Karena itu saya harap dapat muncul tulisan lain dari pembaca yang pro atau kontra terhadap pernyataan saya ini agar demokratisasi dapat berjalan dengan sukses.
Kembali saya teringat pertemuan dengan Ketua RT saya minggu lalu, sebagai ketua TPS beliau juga menyiratkan bahwa setiap warga negara wajib mensukseskan pilkada dengan mengikuti dan memilih di TPS-nya masing-masing. Disini saya tidak menyetujui pola pikir ini, karena bagi saya mensukseskan tidak harus dengan cara hadir dan memilih tetapi yang terutama adalah memahami aspirasi sendiri dan mengenali kandidat yang ada. Kalaupun tak ada yang cocok ya jangan dipaksakan memilih dan jangan paksakan pula untuk membubarkan acara pilkada. Suksesnya pilkada bila rakyat memilih atau tidak memilih atas kehendaknya sendiri tanpa tekanan dari manapun atau siapapun.
Sebagai penutup saya teringat akan puisi almarhum Wiji Thukul yang dicipta 19 tahun yang lampau:

Satu dan dua ataupun tiga,
        Semua sama sama bohongnya,
        Milih boleh, tidak memilih boleh,
        Jangan memaksa, itu hak gue

            (Satu, dua dan tiga. Wiji Thukul)

Tangerang, 21 Oktober 2011

Bagikan Responmu

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.